MELOPEDIA.ID – Di balik gemerlap festival musik tahunan Cherry Pop, terdapat kelompok lintas disiplin yang menamakan diri mereka Swasembada Kreasi. Bermula dari tongkrongan santai, Swasembada kreasi kini menjelma menjadi promotor musik yang menjadikan musik sebagai jembatan ekosistem kreatif Indonesia yang bertempat di Yogyakarta.

Anggotanya sendiri berasal dari berbagai latar, ada yang aktif di media alternatif, ada yang main band, ada jurnalis, pembuat film dokumenter, penyelenggara event, hingga kurator seni rupa. Kolaborasi inilah yang kemudian membentuk festival musik tahunan Cherry Pop.

Tongkrongan Komunitas Musik dan Seni Visual

Dito, Creative Director Cherry Pop, mengungkapkan bahwa Swasembada awalnya tidak dirancang serius. “Awalnya dibikin dari tongkrongan dan gaserius, karena teman-teman emang suka musik dan hal-hal di luar musik, seperti vdeo klip, lirik, film, sampai merchandise,” ujarnya.

Namun, semua berubah pasca pandemi. Menurut Dito, ada kekosongan yang terasa saat format pertunjukan musik berubah menjadi virtual. “Habis pandemi, ngerasa ada sesuatu yang hilang. Karena setelah pandemi itu semua terhenti, dan formatnya berubah,” katanya.

Uniknya, “kantor” Swasembada bukan gedung megah atau co-working space. Tempat kerja mereka menyerupai ruang pameran sekaligus tempat nongkrong. Ada rumah media, rumah merchandise, dan zona eksibisi di mana musisi yang punya karya visual dan seniman yang bisa bermusik dapat menggelar pamerannya disini.

“Kami percaya bahwa ekosistem antara musik dan kreatif itu saat ini di Indonesia punya peran yang sangat besar. Dan kami ingin merangkum satu ekosistem tersebut menjadi satu kesatuan yang bisa dilihat banyak orang,” jelas Dito.

Empat Pilar Kurasi Line-Up Acara

Dalam memilih line-up untuk Cherry Pop, Swasembada menggunakan pendekatan yang sangat terkurasi. Dito menyebut ada empat pilar utama:

  1. Tematik, setiap tahun Cherry Pop memiliki tema khusus, dan band-band yang bermain di panggung utama dipilih berdasarkan relevansi terhadap tema tersebut.
  2. Populer, berbasis data pendengar digital, Swasembada memilih band dengan audiens besar, khususnya dari platform seperti Spotify. Band ini tampil di panggung Nanaba.
  3. Emerging , untuk band-band muda yang punya kualitas dan narasi kuat, namun belum banyak dikenal publik. Mereka tampil di panggung Gigs/Yayapa.
  4. Mitos , Panggung ini menjadi ruang nostalgia dan penghidupan kembali bagi band-band legendaris yang sudah hiatus atau bubar namun masih melekat di ingatan pendengar.

“Semua orang dalam Swaseembada harus terlibat dalam pemilihan band, karena kita pengin Cherry Pop tetap punya karakter dan tidak sekadar jadi festival biasa,” jelas Dito.

Visi: Musik sebagai Diplomasi Kebudayaan

Dalam sebuah pernyataan yang menginspirasi, Dito menegaskan bahwa musik dapat menjadi alat paling mudah dan kuat dalam menjalankan diplomasi kebudayaan. Ia menyoroti betapa besar potensi yang dimiliki Indonesia dalam bidang musik dan industri kreatif yang masih dapat terus dikembangkan. “Kami ingin memperlihatkan bahwa kita punya potensi yang luar biasa untuk dikembangkan, dan kami percaya musik itu adalah alat paling mudah untuk menjadi diplomasi kebudayaan,” ujarnya. Melalui musik, mereka ingin membawa pesan yang kuat tidak hanya kepada masyarakat Indonesia saat ini, tetapi juga generasi mendatang. Lebih jauh, Dito dan timnya berharap agar masyarakat tidak hanya terpukau dengan band atau musik dari mancanegara, melainkan juga mulai menumbuhkan kepercayaan terhadap karya-karya lokal. Menurutnya, kekaguman terhadap musik luar negeri sah-sah saja, namun jangan sampai melupakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan musikal yang tak kalah menarik. Dengan semangat ini, mereka mendorong generasi muda untuk lebih mencintai dan mengembangkan industri musik nasional, menjadikannya sebagai kekuatan diplomatik yang membanggakan di mata dunia.