MELOPEDIA – Cherry Pop dibentuk pada awal tahun 2022, tak lama setelah masa pandemi mulai mereda. Saat banyak aktivitas masih berlangsung secara virtual, muncul kebutuhan akan ruang yang nyata, tempat orang bisa kembali berkumpul, berbagi ide, dan berinteraksi secara langsung.

“Setelah pandemi, rasanya ada yang hilang. Semuanya sempat berhenti. Kalaupun ada kegiatan, bentuknya virtual. Dari situ muncul keinginan untuk bikin sesuatu yang benar-benar terasa dan bisa mempertemukan orang lagi,” ujar Arsita Pinandita, atau lebih sering dipanggil Dito, bagian dari tim kreatif Cherry Pop.

Cherry Pop sendiri berada di bawah naungan Swasembada, sebuah kolektif yang tumbuh dari tongkrongan. Swasembada merupakan ruang yang terbentuk dari hubungan pertemanan dan minat yang sama. “Yang mulai itu sebenarnya Catur. Sekarang dia jadi manajer produksi. Bisa dibilang, posisi tertingginya memang dia,” jelas Dito.

Berawal dari Gigs dan Komunitas

Sebelum Cherry Pop lahir, orang-orang di dalam Swasembada sudah aktif di berbagai kegiatan musik dan budaya. Mereka pernah menginisiasi gigs seperti dududu dadada dan koloni gigs, serta ikut terlibat dalam sejumlah event besar seperti Prambanan Jazz dan Jogjakartans. Aktivitas ini dijalani sambil tetap menekuni bidang masing-masing. Namun, seiring waktu, arah kegiatan mulai difokuskan. “Di tahun keempat, aktivitas yang lain mulai dikurangi. Sekarang sebagian besar energi dicurahkan ke sini,” kata Dito.

Titik Temu Berbagai Latar

Cherry Pop hadir sebagai titik temu dari beragam latar belakang anggotanya. Ada yang bergerak di media dan skena musik, ada yang fokus di band, dokumentasi film, penulisan, hingga produksi acara. Dito sendiri banyak berkegiatan di bidang seni rupa, dosen, mendesain, dan berkumpul dengan teman-teman. “Cherry Pop awalnya Cuma jadi irisan dari kesibukan masing-masing. Tapi karena ada keresahan dan semangat yang sama, akhirnya kami jalankan bersama,” lanjutnya.

Lebih dari Sekadar Musik

Meski berangkat dari kecintaan pada musik, Cherry Pop tak berhenti di sana. Minat terhadap aspek-aspek di luar musik seperti video klip, penulisan lirik, visual, film, hingga merchandise turut membentuk arah kolektif ini. Semua menjadi bagian dari kegiatan kreatif yang ingin mereka bangun secara nyata dan berkelanjutan.

Cherry Pop menunjukkan bahwa sebuah tongkrongan bisa tumbuh menjadi ruang kolaboratif yang serius namun tetap akrab. Sebuah ruang alternatif yang tidak hanya mewadahi karya, tapi juga memperkuat hubungan dan semangat kolektif.

Warna-Warni Retro, dari City Pop ke Gelanggang Musik

Saat ditanya soal arah visual Cherry Pop yang tahun ini terasa kental dengan warna-warna retro-pop, Dito menjelaskan bahwa awalnya hal itu muncul dari percakapan iseng. “Sebetulnya itu iseng aja waktu saya hubungin Adira, kenalan dari Instagram. Saya datengin ke Bintaro, ngobrol-ngobrol aja,” kenangnya.

Adira, seorang ilustrator yang justru lebih dikenal di luar negeri Jepang, Thailand, Korea, belum pernah mendapat ruang di Indonesia. “Makanya, kita ingin tahun ini jadi semacam selebrasi dari perspektif dia. Dia bawa nuansa visual city pop, yang sekarang juga mulai digemari anak-anak muda. Musiknya pun kembali didengar lagi, kayak Diskoria, Fariz RM,” jelas Dito.

Dari situlah lahir tema “Gelanggang Musik”, yang diterjemahkan dari semangat kota, pop, dan perayaan kemandirian musisi. “Gelanggang ini kita ambil dari Surat Pernyataan Gelanggang era 50-an. Waktu itu, anak-anak muda sastra Indonesia bilang, ‘kita bagian dari dunia’. Sama kayak musisi sekarang kita pengen ngasih ruang agar mereka bisa tampil dan selebrasi tanpa sekat-sekat usang,” tambahnya.

Dari situ juga muncul subtema: Swasembada Musik semangat DIY, kemandirian dalam berkarya, dan Slametan Musik, penghormatan bagi band-band yang sudah puluhan tahun bermusik. “Kita kemarin ngerayain Rumah Sakit yang 30 tahun, juga Jimi dan The Upstairs bawain ulang Matraman yang udah 20 tahun. Itu bentuk slametan menurut kita.”

Kenapa di Jogja?

Meski tak satupun anggota kelahiran Jogja, Cherry Pop menjadikan kota ini sebagai rumah. “Ya realitasnya kita tinggal di Jogja. Tempat yang paling mudah untuk gerak dan ngumpul,” ungkap Dito. Cherry Pop pertama mengambil Melting Point, sebagai simbol titik temu antara timur dan barat, utara dan selatan. Jogja dipilih karena letaknya di tengah, dan semangat keterbukaannya cocok dengan semangat Cherry Pop itu sendiri.